Kalau
dibilang sedih ya sedih, tapi waktu buat merenung itu udah ngga ada. Menaruh
sesuatu pada tempat yang salah dan baru menyadarinya belakangan adalah hal
terburuk. Tak pantas. Apa yang sudah tersimpan itu sekarang menjadi duri tajam
yang tak terlihat. Ketika ingin membuangnya duri itu harus tersentuh,
terjangkau. Dan semuanya tak begitu mudah. Mengembalikan sesuatu pada tempatnya
membutuhkan cara yang berbeda agar duri itu tak tersentuh ulang.
Tak Ingin Menepi
Posted by
S
|
Labels:
personal
undefined
undefined
Ini pertama kalinya
bagiku untuk tak setiap hari melihatmu.
Rasanya seperti sedang
melangkah dan menjauh, begitu pula dirimu.
Tak terhitung berapa
jarak yang telah kita buat. Apakah kau berpikir untuk menepi?
Beberapa waktu kau
memang terlihat lelah, berjalan sendirian memaksakan apa yang telah kau
rencanakan.
Terkadang aku melihatmu
dari belakang hanya untuk memastikan seberapa jauh kau dan aku berjalan ke arah
yang berlawanan.
Aku tak ingin menepi
melihatmu tetap berjalan ke depan.
Aku hanya ingin berlari,
segera mencari arah untuk melingkar.
Supaya ketika aku
berhenti nanti, apa yang ada di depanku adalah kamu.
Jarak Mampu Melupakan – Undone Love Story Part 1
Posted by
S
|
Labels:
personal
undefined
undefined
“Aku
udah ngga di Bandung.”
Itu adalah kalimat menyakitkan
yang dia ucapkan ketika aku menanyakan kabarnya empat tahun yang lalu. Hubungan
kami ini adalah teman. Perkenalan dimulai karena selama tiga tahun kami adalah
teman sekelas.
Beberapa tahun yang lalu,
dia duduk disana.. Baris kedua dari depan kelas. Sementara aku, dipojok kanan,
baris ketiga dari depan. Setiap aku melihat ke arah papan tulis di depan, entah
mengapa sosok dirinya sering terlihat. Aku bahkan tak pernah sadar mengapa
sempat aku memalingkan mata untuk selalu melihat ke arahnya.
Sosoknya tak begitu sempurna
seperti di film drama. Oh, tapi kau harus tahu bahwa dia memang populer. Dia...
Ya, dia populer karena selalu ramah, humornya yang bisa membuat semua orang tertawa,
satu lagi.. tentu saja dia pandai!
“Anak
itu ramah sekali.”
Begitulah
kesan orang tuaku ketika usai acara perpisahan sekolah. Kepulanganku di hari
perpisahan sekolah, aku dijemput orang tuaku untuk pulang. Hari memang masih
siang, tapi aku tak sempat jika menaiki kendaraan umum karena aku masih harus
mengejar waktu ke tempat lesku. Ketika keluar dari gerbang, ada dia yang sedang
berjalan sendirian untuk pulang (mungkin). Kudapati diriku serta orang tuaku
disuguhi senyumnya, kemudian kepalanya mengangguk. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH. L
“Pulang?”
tanya orang tuaku.
“Iya
om, mari.”
Kami berlalu dan diapun
berlalu.
Setelah hari kelulusan itu
aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Kontaknya pun aku tak punya. Sampai
pada suatu hari kami berteman di sosial media yang berlogo biru. Kami bertukar
kontak, dan tentu saja semua nomor telepon kuberikan padanya. Diapun begitu.
Tapi itu percuma saja, karena tak pernah ada pesan singkat yang dia kirimkan
setelah tahu nomor teleponku. Tak apalah.
Sampai dimana hari untuk
memilih perguruan tinggi, aku teringat padanya. Ketika aku yang bodoh ini tak
punya tujuan akan masuk universitas yang mana, terlintas dalam pikirku “Apa
yang akan dia pilih?” Kucoba membuka sosial media, siapa tahu ada dia disana.
Dan memang ada.
“Hai,”
aku mencoba membuka pembicaraan dengannya.
“Apa
kabar?” tanyanya.
“Baik.
Apakah kau sudah memutuskan kira-kira akan masuk perguruan tinggi mana?”
tanyaku sambil berharap nanti kami masuk perguruan tinggi yang sama.
“Belum
tahu, baru memutuskan jurusannya saja.”
“Kau
mau mengambil perguruan tinggi di Bandung?”
“Aku
udah ngga di Bandung.”
“Oh
begitu, aku kira kau akan kuliah disini. Ngomong-ngomong kenapa kau pindah ke
luar kota?”
“Aku
ikut orang tuaku pindah.”
“Tapi
bukannya tempat tinggalmu di Bandung?”
“Ya,
masih ada rumah di Bandung, dan disini juga.”
“Kapan
kira-kira kau pulang?”
“Entahlah tapi memang
sepertinya butuh waktu lama. Itupun bagaimana keputusan orang tuaku.”
Sudah menginjak semester
enam di tempat kuliahku, barulah mendengar kabar bahwa ia sedang di Bandung
untuk beberapa hari. Kemudian telepon genggamku berbunyi menandakan pesan
masuk. Dari temanku, sebut saja dia Mawar.
“Kamu
mau gabung dengan kami ngga menemani X berjalan-jalan di Bandung?” tanya Mawar.
“Aku masih di lab fitokimia,
kerjaannya belum selesai. Kayaknya lama deh, aku ngga ikut,” itulah jawabanku
saat kudengar tiba-tiba ia di Bandung.
Agak sedikit kecewa ketika
aku berhalangan untuk menemuinya. Tapi kalaupun aku menemuinya, aku bahkan tak
tahu harus mengatakan apa atau apa yang harus kuceritakan. Alasannya?
Satu-satunya yang menjadi alasan adalah ketakutan konyolku. Dulu setiap kami
memulai membuka obrolan selalu saja terjadi kesalah pahaman yang membuat salah
satu dari kami merasa tersinggung ataupun marah. Dia memang tak pernah
menunjukkan dengan kata-kata kalau dia sedang marah, tapi terlihat jelas dari
raut wajahnya yang mengkerut. Akupun begitu.
Selain itu, aku sempat
merasa bersalah padanya dulu. Ketika dia sedang merencanakan pembagian kelompok
suatu pelajaran dan bercuap-cuap di depan kelas, aku masuk dengan muka cemberut
masam marah tapi tak mengeluarkan kata. Dengan pandangan bertanya-tanya dia
melihatku sambil menghentikan sebentar percakapannya dengan yang lain. Setelah
ia selesai berbicara, ia kembali ke tempat duduknya seperti merenung sedih
karena aku tak suka padanya atau tak menyetujui pendapatnya atau apalah itu.
Yang kulihat raut mukanya seperti orang yang kehilangan kepercayaan dirinya
karena ditentang. Oh sungguh aku tak bermaksud seperti itu! Hal itu terjadi
karena aku sangat marah atas kejadian di luar kelas yang menimpaku. Seperti
sedang ketiban sial, setelah aku diincar oleh gebetan temanku di luar kelas kemudian
ekspresiku disalah artikan olehnya pula. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Setelah hari kelulusan
kuliahku, aku sempat berharap bahwa ia akan kembali ke kota ini untuk
melanjutkan hidupnya – bekerja. Berharap aku bisa menemuinya sekali lagi untuk
memastikan apakah senyuman itu masih sama seperti dulu. Berkali-kali aku
mencari tahu sendiri kabarnya namun ia tak pernah ada di sosial media.
Suatu hari di bulan
November, masih di sosial media yang sama, aku membuka mataku lebar-lebar untuk
menangkap apakah mataku ini tak salah lihat. Dia telah bertunangan dengan
wanita lain, dia sudah mengikrarkan janjinya untuk wanita itu.. dengan tulus.
Yang kudapat masih dalam
kesendirianku saat ini. Turut serta bahagia mendoakan dirinya disana. Aku
hanyalah sebuah jarak yang terlupakan, jarak yang terlalu sekilas untuk
diingat. Walau dengan jarak seperti ini, yang bisa aku lakukan mendoakan
untukmu serta kebaikanmu.
POTRET
Posted by
S
|
Labels:
personal
undefined
undefined
Kubuka
album merah bukan album biru, albumnya juga ngga penuh debu dan usang kok wong
baru kemaren-kemaren belinya. Potret dari jaman penjajahan hingga 2015 kemaren
aku rangkai dalam satu album. Dari mulai waktu jelek sampe sekarang masih jelek
juga ngga berubah. Bisa dikatakan aku ini pemilik masa kecil yang buruk, setiap
lirik potret-potret lawas itu seperti ada sesuatu yang menusuk di dada. Tapi di
dadaku ngga ada kamunya sih. Agak sulit memang memeluk masa lalu. Sakitnya di
masa kecil itu sepele tapi bekasnya kebawa sampe gede. But hey this is 2016, so
I try to move on. Sebisa mungkin aku berbesar hati menerima masa lalu dengan
rasa pahit manisnya.
Dilihat
secara detail aku versi kecil ini emang ngga bagus sih, cuma aku mikir ‘sometimes
children are sweet, yeah SOMETIMES !’ Bener-bener muka polos belum berdosa.
Coba sekarang, ih kayanya kalau di kilo dosa nya obesitas. Beranjak ke potret
jaman penjajahan alias Sekolah Menengah Penjajahan, percaya atau ngga itu
ekspresinya alay banget. Yang lagi hits-hitsnya foto pake gaya tangan dibawah
dagu atau diatas jidat gitu lah. Ngga apa-apalah dimasukkin album, toh emang
dulu mah musimnya begitu. Rasanya ngga adil kalau dipajang yang bagusnya doang,
kan orang lain juga harus lihat buruknya kita supaya menerima apa adanya bukan
nerima bagusnya aja. Eh tapi aku sampe sekarang masih jelek kok ngga bagus.
Dari
tadi kenapa sih ngomongin fisik melulu??? Iya emang kenyataannya fisik aku ngga
bagus sih. Dekil item, ah pokoknya ngga pernah ada laki yang bilang cantik.
Hahahahaha. Mantan pacar aja bilang kalau aku ini item, dekil, dandanannya
malu-maluin. Caci maki itu memang sakit. But it’s okay because that’s a truth.
Ngga bisa marah sih karena emang nyatanya gitu. Laki itu kan makhluk visual,
senengnya mengakui yang bening-bening. Kalau dia bilang kayak gitu sih itu
salahnya dia aja kenapa dulu nembak, bener ngga? Hahahahaha.
Nah
ini potretnya pas udah gede, begitu masuk kuliah sampe lulus kemaren. Ngga ada
perbedaannya masih gitu-gitu aja. Rambutnya juga sama masih pendek aja. Sampe
pas ketemu temen lama ada yang bilang gini, “kamu kok ngga berubah ya masih
kayak gitu aja.” Itu yang ngomong temen cewek dong, rasanya agak nyes gimana
gitu. Dari situ rasanya kepengen aja balesin dia buat ngomong gini, “terus isuk
aing kudu operasi plastik ameh jiga SNSD kitu?” Kadang suka mikir dan
introspeksi, dulu aku pernah ngapain dia sampe dia sekarang ngomong kayak gitu.
Tapi ngga lah, HAHA, mana mungkin bilang gitu sama temen yang ga deket. Lagian
dia bilang aku ngga banyak berubah juga kan karena dia ngga kenal aku secara
rinci, cuma tau wujudnya dari kejauhan doang.
People
much judge by only looking someone’s appearance, usually in a potrait. Hal yang
bikin aku kuat disini karena seseorang pernah bilang, jadi orang itu harus
humble. I’m still trying to be humble, hey there ! J
Subscribe to:
Posts (Atom)