RSS

Kalau dibilang sedih ya sedih, tapi waktu buat merenung itu udah ngga ada. Menaruh sesuatu pada tempat yang salah dan baru menyadarinya belakangan adalah hal terburuk. Tak pantas. Apa yang sudah tersimpan itu sekarang menjadi duri tajam yang tak terlihat. Ketika ingin membuangnya duri itu harus tersentuh, terjangkau. Dan semuanya tak begitu mudah. Mengembalikan sesuatu pada tempatnya membutuhkan cara yang berbeda agar duri itu tak tersentuh ulang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tak Ingin Menepi

Ini pertama kalinya bagiku untuk tak setiap hari melihatmu.
Rasanya seperti sedang melangkah dan menjauh, begitu pula dirimu.
Tak terhitung berapa jarak yang telah kita buat. Apakah kau berpikir untuk menepi?
Beberapa waktu kau memang terlihat lelah, berjalan sendirian memaksakan apa yang telah kau rencanakan.
Terkadang aku melihatmu dari belakang hanya untuk memastikan seberapa jauh kau dan aku berjalan ke arah yang berlawanan.
Aku tak ingin menepi melihatmu tetap berjalan ke depan.
Aku hanya ingin berlari, segera mencari arah untuk melingkar.

Supaya ketika aku berhenti nanti, apa yang ada di depanku adalah kamu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jarak Mampu Melupakan – Undone Love Story Part 1

“Aku udah ngga di Bandung.”
Itu adalah kalimat menyakitkan yang dia ucapkan ketika aku menanyakan kabarnya empat tahun yang lalu. Hubungan kami ini adalah teman. Perkenalan dimulai karena selama tiga tahun kami adalah teman sekelas.
Beberapa tahun yang lalu, dia duduk disana.. Baris kedua dari depan kelas. Sementara aku, dipojok kanan, baris ketiga dari depan. Setiap aku melihat ke arah papan tulis di depan, entah mengapa sosok dirinya sering terlihat. Aku bahkan tak pernah sadar mengapa sempat aku memalingkan mata untuk selalu melihat ke arahnya.
Sosoknya tak begitu sempurna seperti di film drama. Oh, tapi kau harus tahu bahwa dia memang populer. Dia... Ya, dia populer karena selalu ramah, humornya yang bisa membuat semua orang tertawa, satu lagi.. tentu saja dia pandai!
“Anak itu ramah sekali.”
Begitulah kesan orang tuaku ketika usai acara perpisahan sekolah. Kepulanganku di hari perpisahan sekolah, aku dijemput orang tuaku untuk pulang. Hari memang masih siang, tapi aku tak sempat jika menaiki kendaraan umum karena aku masih harus mengejar waktu ke tempat lesku. Ketika keluar dari gerbang, ada dia yang sedang berjalan sendirian untuk pulang (mungkin). Kudapati diriku serta orang tuaku disuguhi senyumnya, kemudian kepalanya mengangguk. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH. L
“Pulang?” tanya orang tuaku.
“Iya om, mari.”
Kami berlalu dan diapun berlalu.
Setelah hari kelulusan itu aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Kontaknya pun aku tak punya. Sampai pada suatu hari kami berteman di sosial media yang berlogo biru. Kami bertukar kontak, dan tentu saja semua nomor telepon kuberikan padanya. Diapun begitu. Tapi itu percuma saja, karena tak pernah ada pesan singkat yang dia kirimkan setelah tahu nomor teleponku. Tak apalah.
Sampai dimana hari untuk memilih perguruan tinggi, aku teringat padanya. Ketika aku yang bodoh ini tak punya tujuan akan masuk universitas yang mana, terlintas dalam pikirku “Apa yang akan dia pilih?” Kucoba membuka sosial media, siapa tahu ada dia disana. Dan memang ada.
“Hai,” aku mencoba membuka pembicaraan dengannya.
“Apa kabar?” tanyanya.
“Baik. Apakah kau sudah memutuskan kira-kira akan masuk perguruan tinggi mana?” tanyaku sambil berharap nanti kami masuk perguruan tinggi yang sama.
“Belum tahu, baru memutuskan jurusannya saja.”
“Kau mau mengambil perguruan tinggi di Bandung?”
“Aku udah ngga di Bandung.”
“Oh begitu, aku kira kau akan kuliah disini. Ngomong-ngomong kenapa kau pindah ke luar kota?”
“Aku ikut orang tuaku pindah.”
“Tapi bukannya tempat tinggalmu di Bandung?”
“Ya, masih ada rumah di Bandung, dan disini juga.”
“Kapan kira-kira kau pulang?”
“Entahlah tapi memang sepertinya butuh waktu lama. Itupun bagaimana keputusan orang tuaku.”
Sudah menginjak semester enam di tempat kuliahku, barulah mendengar kabar bahwa ia sedang di Bandung untuk beberapa hari. Kemudian telepon genggamku berbunyi menandakan pesan masuk. Dari temanku, sebut saja dia Mawar.
“Kamu mau gabung dengan kami ngga menemani X berjalan-jalan di Bandung?” tanya Mawar.
“Aku masih di lab fitokimia, kerjaannya belum selesai. Kayaknya lama deh, aku ngga ikut,” itulah jawabanku saat kudengar tiba-tiba ia di Bandung.
Agak sedikit kecewa ketika aku berhalangan untuk menemuinya. Tapi kalaupun aku menemuinya, aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa atau apa yang harus kuceritakan. Alasannya? Satu-satunya yang menjadi alasan adalah ketakutan konyolku. Dulu setiap kami memulai membuka obrolan selalu saja terjadi kesalah pahaman yang membuat salah satu dari kami merasa tersinggung ataupun marah. Dia memang tak pernah menunjukkan dengan kata-kata kalau dia sedang marah, tapi terlihat jelas dari raut wajahnya yang mengkerut. Akupun begitu.
Selain itu, aku sempat merasa bersalah padanya dulu. Ketika dia sedang merencanakan pembagian kelompok suatu pelajaran dan bercuap-cuap di depan kelas, aku masuk dengan muka cemberut masam marah tapi tak mengeluarkan kata. Dengan pandangan bertanya-tanya dia melihatku sambil menghentikan sebentar percakapannya dengan yang lain. Setelah ia selesai berbicara, ia kembali ke tempat duduknya seperti merenung sedih karena aku tak suka padanya atau tak menyetujui pendapatnya atau apalah itu. Yang kulihat raut mukanya seperti orang yang kehilangan kepercayaan dirinya karena ditentang. Oh sungguh aku tak bermaksud seperti itu! Hal itu terjadi karena aku sangat marah atas kejadian di luar kelas yang menimpaku. Seperti sedang ketiban sial, setelah aku diincar oleh gebetan temanku di luar kelas kemudian ekspresiku disalah artikan olehnya pula. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Setelah hari kelulusan kuliahku, aku sempat berharap bahwa ia akan kembali ke kota ini untuk melanjutkan hidupnya – bekerja. Berharap aku bisa menemuinya sekali lagi untuk memastikan apakah senyuman itu masih sama seperti dulu. Berkali-kali aku mencari tahu sendiri kabarnya namun ia tak pernah ada di sosial media.
Suatu hari di bulan November, masih di sosial media yang sama, aku membuka mataku lebar-lebar untuk menangkap apakah mataku ini tak salah lihat. Dia telah bertunangan dengan wanita lain, dia sudah mengikrarkan janjinya untuk wanita itu.. dengan tulus.

Yang kudapat masih dalam kesendirianku saat ini. Turut serta bahagia mendoakan dirinya disana. Aku hanyalah sebuah jarak yang terlupakan, jarak yang terlalu sekilas untuk diingat. Walau dengan jarak seperti ini, yang bisa aku lakukan mendoakan untukmu serta kebaikanmu. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

POTRET

Kubuka album merah bukan album biru, albumnya juga ngga penuh debu dan usang kok wong baru kemaren-kemaren belinya. Potret dari jaman penjajahan hingga 2015 kemaren aku rangkai dalam satu album. Dari mulai waktu jelek sampe sekarang masih jelek juga ngga berubah. Bisa dikatakan aku ini pemilik masa kecil yang buruk, setiap lirik potret-potret lawas itu seperti ada sesuatu yang menusuk di dada. Tapi di dadaku ngga ada kamunya sih. Agak sulit memang memeluk masa lalu. Sakitnya di masa kecil itu sepele tapi bekasnya kebawa sampe gede. But hey this is 2016, so I try to move on. Sebisa mungkin aku berbesar hati menerima masa lalu dengan rasa pahit manisnya.
Dilihat secara detail aku versi kecil ini emang ngga bagus sih, cuma aku mikir ‘sometimes children are sweet, yeah SOMETIMES !’ Bener-bener muka polos belum berdosa. Coba sekarang, ih kayanya kalau di kilo dosa nya obesitas. Beranjak ke potret jaman penjajahan alias Sekolah Menengah Penjajahan, percaya atau ngga itu ekspresinya alay banget. Yang lagi hits-hitsnya foto pake gaya tangan dibawah dagu atau diatas jidat gitu lah. Ngga apa-apalah dimasukkin album, toh emang dulu mah musimnya begitu. Rasanya ngga adil kalau dipajang yang bagusnya doang, kan orang lain juga harus lihat buruknya kita supaya menerima apa adanya bukan nerima bagusnya aja. Eh tapi aku sampe sekarang masih jelek kok ngga bagus.
Dari tadi kenapa sih ngomongin fisik melulu??? Iya emang kenyataannya fisik aku ngga bagus sih. Dekil item, ah pokoknya ngga pernah ada laki yang bilang cantik. Hahahahaha. Mantan pacar aja bilang kalau aku ini item, dekil, dandanannya malu-maluin. Caci maki itu memang sakit. But it’s okay because that’s a truth. Ngga bisa marah sih karena emang nyatanya gitu. Laki itu kan makhluk visual, senengnya mengakui yang bening-bening. Kalau dia bilang kayak gitu sih itu salahnya dia aja kenapa dulu nembak, bener ngga? Hahahahaha.
Nah ini potretnya pas udah gede, begitu masuk kuliah sampe lulus kemaren. Ngga ada perbedaannya masih gitu-gitu aja. Rambutnya juga sama masih pendek aja. Sampe pas ketemu temen lama ada yang bilang gini, “kamu kok ngga berubah ya masih kayak gitu aja.” Itu yang ngomong temen cewek dong, rasanya agak nyes gimana gitu. Dari situ rasanya kepengen aja balesin dia buat ngomong gini, “terus isuk aing kudu operasi plastik ameh jiga SNSD kitu?” Kadang suka mikir dan introspeksi, dulu aku pernah ngapain dia sampe dia sekarang ngomong kayak gitu. Tapi ngga lah, HAHA, mana mungkin bilang gitu sama temen yang ga deket. Lagian dia bilang aku ngga banyak berubah juga kan karena dia ngga kenal aku secara rinci, cuma tau wujudnya dari kejauhan doang.

People much judge by only looking someone’s appearance, usually in a potrait. Hal yang bikin aku kuat disini karena seseorang pernah bilang, jadi orang itu harus humble. I’m still trying to be humble, hey there ! J

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS