“Aku
udah ngga di Bandung.”
Itu adalah kalimat menyakitkan
yang dia ucapkan ketika aku menanyakan kabarnya empat tahun yang lalu. Hubungan
kami ini adalah teman. Perkenalan dimulai karena selama tiga tahun kami adalah
teman sekelas.
Beberapa tahun yang lalu,
dia duduk disana.. Baris kedua dari depan kelas. Sementara aku, dipojok kanan,
baris ketiga dari depan. Setiap aku melihat ke arah papan tulis di depan, entah
mengapa sosok dirinya sering terlihat. Aku bahkan tak pernah sadar mengapa
sempat aku memalingkan mata untuk selalu melihat ke arahnya.
Sosoknya tak begitu sempurna
seperti di film drama. Oh, tapi kau harus tahu bahwa dia memang populer. Dia...
Ya, dia populer karena selalu ramah, humornya yang bisa membuat semua orang tertawa,
satu lagi.. tentu saja dia pandai!
“Anak
itu ramah sekali.”
Begitulah
kesan orang tuaku ketika usai acara perpisahan sekolah. Kepulanganku di hari
perpisahan sekolah, aku dijemput orang tuaku untuk pulang. Hari memang masih
siang, tapi aku tak sempat jika menaiki kendaraan umum karena aku masih harus
mengejar waktu ke tempat lesku. Ketika keluar dari gerbang, ada dia yang sedang
berjalan sendirian untuk pulang (mungkin). Kudapati diriku serta orang tuaku
disuguhi senyumnya, kemudian kepalanya mengangguk. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH. L
“Pulang?”
tanya orang tuaku.
“Iya
om, mari.”
Kami berlalu dan diapun
berlalu.
Setelah hari kelulusan itu
aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Kontaknya pun aku tak punya. Sampai
pada suatu hari kami berteman di sosial media yang berlogo biru. Kami bertukar
kontak, dan tentu saja semua nomor telepon kuberikan padanya. Diapun begitu.
Tapi itu percuma saja, karena tak pernah ada pesan singkat yang dia kirimkan
setelah tahu nomor teleponku. Tak apalah.
Sampai dimana hari untuk
memilih perguruan tinggi, aku teringat padanya. Ketika aku yang bodoh ini tak
punya tujuan akan masuk universitas yang mana, terlintas dalam pikirku “Apa
yang akan dia pilih?” Kucoba membuka sosial media, siapa tahu ada dia disana.
Dan memang ada.
“Hai,”
aku mencoba membuka pembicaraan dengannya.
“Apa
kabar?” tanyanya.
“Baik.
Apakah kau sudah memutuskan kira-kira akan masuk perguruan tinggi mana?”
tanyaku sambil berharap nanti kami masuk perguruan tinggi yang sama.
“Belum
tahu, baru memutuskan jurusannya saja.”
“Kau
mau mengambil perguruan tinggi di Bandung?”
“Aku
udah ngga di Bandung.”
“Oh
begitu, aku kira kau akan kuliah disini. Ngomong-ngomong kenapa kau pindah ke
luar kota?”
“Aku
ikut orang tuaku pindah.”
“Tapi
bukannya tempat tinggalmu di Bandung?”
“Ya,
masih ada rumah di Bandung, dan disini juga.”
“Kapan
kira-kira kau pulang?”
“Entahlah tapi memang
sepertinya butuh waktu lama. Itupun bagaimana keputusan orang tuaku.”
Sudah menginjak semester
enam di tempat kuliahku, barulah mendengar kabar bahwa ia sedang di Bandung
untuk beberapa hari. Kemudian telepon genggamku berbunyi menandakan pesan
masuk. Dari temanku, sebut saja dia Mawar.
“Kamu
mau gabung dengan kami ngga menemani X berjalan-jalan di Bandung?” tanya Mawar.
“Aku masih di lab fitokimia,
kerjaannya belum selesai. Kayaknya lama deh, aku ngga ikut,” itulah jawabanku
saat kudengar tiba-tiba ia di Bandung.
Agak sedikit kecewa ketika
aku berhalangan untuk menemuinya. Tapi kalaupun aku menemuinya, aku bahkan tak
tahu harus mengatakan apa atau apa yang harus kuceritakan. Alasannya?
Satu-satunya yang menjadi alasan adalah ketakutan konyolku. Dulu setiap kami
memulai membuka obrolan selalu saja terjadi kesalah pahaman yang membuat salah
satu dari kami merasa tersinggung ataupun marah. Dia memang tak pernah
menunjukkan dengan kata-kata kalau dia sedang marah, tapi terlihat jelas dari
raut wajahnya yang mengkerut. Akupun begitu.
Selain itu, aku sempat
merasa bersalah padanya dulu. Ketika dia sedang merencanakan pembagian kelompok
suatu pelajaran dan bercuap-cuap di depan kelas, aku masuk dengan muka cemberut
masam marah tapi tak mengeluarkan kata. Dengan pandangan bertanya-tanya dia
melihatku sambil menghentikan sebentar percakapannya dengan yang lain. Setelah
ia selesai berbicara, ia kembali ke tempat duduknya seperti merenung sedih
karena aku tak suka padanya atau tak menyetujui pendapatnya atau apalah itu.
Yang kulihat raut mukanya seperti orang yang kehilangan kepercayaan dirinya
karena ditentang. Oh sungguh aku tak bermaksud seperti itu! Hal itu terjadi
karena aku sangat marah atas kejadian di luar kelas yang menimpaku. Seperti
sedang ketiban sial, setelah aku diincar oleh gebetan temanku di luar kelas kemudian
ekspresiku disalah artikan olehnya pula. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Setelah hari kelulusan
kuliahku, aku sempat berharap bahwa ia akan kembali ke kota ini untuk
melanjutkan hidupnya – bekerja. Berharap aku bisa menemuinya sekali lagi untuk
memastikan apakah senyuman itu masih sama seperti dulu. Berkali-kali aku
mencari tahu sendiri kabarnya namun ia tak pernah ada di sosial media.
Suatu hari di bulan
November, masih di sosial media yang sama, aku membuka mataku lebar-lebar untuk
menangkap apakah mataku ini tak salah lihat. Dia telah bertunangan dengan
wanita lain, dia sudah mengikrarkan janjinya untuk wanita itu.. dengan tulus.
Yang kudapat masih dalam
kesendirianku saat ini. Turut serta bahagia mendoakan dirinya disana. Aku
hanyalah sebuah jarak yang terlupakan, jarak yang terlalu sekilas untuk
diingat. Walau dengan jarak seperti ini, yang bisa aku lakukan mendoakan
untukmu serta kebaikanmu.
0 comments:
Post a Comment