RSS

Jarak Mampu Melupakan – Undone Love Story Part 1

“Aku udah ngga di Bandung.”
Itu adalah kalimat menyakitkan yang dia ucapkan ketika aku menanyakan kabarnya empat tahun yang lalu. Hubungan kami ini adalah teman. Perkenalan dimulai karena selama tiga tahun kami adalah teman sekelas.
Beberapa tahun yang lalu, dia duduk disana.. Baris kedua dari depan kelas. Sementara aku, dipojok kanan, baris ketiga dari depan. Setiap aku melihat ke arah papan tulis di depan, entah mengapa sosok dirinya sering terlihat. Aku bahkan tak pernah sadar mengapa sempat aku memalingkan mata untuk selalu melihat ke arahnya.
Sosoknya tak begitu sempurna seperti di film drama. Oh, tapi kau harus tahu bahwa dia memang populer. Dia... Ya, dia populer karena selalu ramah, humornya yang bisa membuat semua orang tertawa, satu lagi.. tentu saja dia pandai!
“Anak itu ramah sekali.”
Begitulah kesan orang tuaku ketika usai acara perpisahan sekolah. Kepulanganku di hari perpisahan sekolah, aku dijemput orang tuaku untuk pulang. Hari memang masih siang, tapi aku tak sempat jika menaiki kendaraan umum karena aku masih harus mengejar waktu ke tempat lesku. Ketika keluar dari gerbang, ada dia yang sedang berjalan sendirian untuk pulang (mungkin). Kudapati diriku serta orang tuaku disuguhi senyumnya, kemudian kepalanya mengangguk. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH. L
“Pulang?” tanya orang tuaku.
“Iya om, mari.”
Kami berlalu dan diapun berlalu.
Setelah hari kelulusan itu aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Kontaknya pun aku tak punya. Sampai pada suatu hari kami berteman di sosial media yang berlogo biru. Kami bertukar kontak, dan tentu saja semua nomor telepon kuberikan padanya. Diapun begitu. Tapi itu percuma saja, karena tak pernah ada pesan singkat yang dia kirimkan setelah tahu nomor teleponku. Tak apalah.
Sampai dimana hari untuk memilih perguruan tinggi, aku teringat padanya. Ketika aku yang bodoh ini tak punya tujuan akan masuk universitas yang mana, terlintas dalam pikirku “Apa yang akan dia pilih?” Kucoba membuka sosial media, siapa tahu ada dia disana. Dan memang ada.
“Hai,” aku mencoba membuka pembicaraan dengannya.
“Apa kabar?” tanyanya.
“Baik. Apakah kau sudah memutuskan kira-kira akan masuk perguruan tinggi mana?” tanyaku sambil berharap nanti kami masuk perguruan tinggi yang sama.
“Belum tahu, baru memutuskan jurusannya saja.”
“Kau mau mengambil perguruan tinggi di Bandung?”
“Aku udah ngga di Bandung.”
“Oh begitu, aku kira kau akan kuliah disini. Ngomong-ngomong kenapa kau pindah ke luar kota?”
“Aku ikut orang tuaku pindah.”
“Tapi bukannya tempat tinggalmu di Bandung?”
“Ya, masih ada rumah di Bandung, dan disini juga.”
“Kapan kira-kira kau pulang?”
“Entahlah tapi memang sepertinya butuh waktu lama. Itupun bagaimana keputusan orang tuaku.”
Sudah menginjak semester enam di tempat kuliahku, barulah mendengar kabar bahwa ia sedang di Bandung untuk beberapa hari. Kemudian telepon genggamku berbunyi menandakan pesan masuk. Dari temanku, sebut saja dia Mawar.
“Kamu mau gabung dengan kami ngga menemani X berjalan-jalan di Bandung?” tanya Mawar.
“Aku masih di lab fitokimia, kerjaannya belum selesai. Kayaknya lama deh, aku ngga ikut,” itulah jawabanku saat kudengar tiba-tiba ia di Bandung.
Agak sedikit kecewa ketika aku berhalangan untuk menemuinya. Tapi kalaupun aku menemuinya, aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa atau apa yang harus kuceritakan. Alasannya? Satu-satunya yang menjadi alasan adalah ketakutan konyolku. Dulu setiap kami memulai membuka obrolan selalu saja terjadi kesalah pahaman yang membuat salah satu dari kami merasa tersinggung ataupun marah. Dia memang tak pernah menunjukkan dengan kata-kata kalau dia sedang marah, tapi terlihat jelas dari raut wajahnya yang mengkerut. Akupun begitu.
Selain itu, aku sempat merasa bersalah padanya dulu. Ketika dia sedang merencanakan pembagian kelompok suatu pelajaran dan bercuap-cuap di depan kelas, aku masuk dengan muka cemberut masam marah tapi tak mengeluarkan kata. Dengan pandangan bertanya-tanya dia melihatku sambil menghentikan sebentar percakapannya dengan yang lain. Setelah ia selesai berbicara, ia kembali ke tempat duduknya seperti merenung sedih karena aku tak suka padanya atau tak menyetujui pendapatnya atau apalah itu. Yang kulihat raut mukanya seperti orang yang kehilangan kepercayaan dirinya karena ditentang. Oh sungguh aku tak bermaksud seperti itu! Hal itu terjadi karena aku sangat marah atas kejadian di luar kelas yang menimpaku. Seperti sedang ketiban sial, setelah aku diincar oleh gebetan temanku di luar kelas kemudian ekspresiku disalah artikan olehnya pula. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Setelah hari kelulusan kuliahku, aku sempat berharap bahwa ia akan kembali ke kota ini untuk melanjutkan hidupnya – bekerja. Berharap aku bisa menemuinya sekali lagi untuk memastikan apakah senyuman itu masih sama seperti dulu. Berkali-kali aku mencari tahu sendiri kabarnya namun ia tak pernah ada di sosial media.
Suatu hari di bulan November, masih di sosial media yang sama, aku membuka mataku lebar-lebar untuk menangkap apakah mataku ini tak salah lihat. Dia telah bertunangan dengan wanita lain, dia sudah mengikrarkan janjinya untuk wanita itu.. dengan tulus.

Yang kudapat masih dalam kesendirianku saat ini. Turut serta bahagia mendoakan dirinya disana. Aku hanyalah sebuah jarak yang terlupakan, jarak yang terlalu sekilas untuk diingat. Walau dengan jarak seperti ini, yang bisa aku lakukan mendoakan untukmu serta kebaikanmu. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment